Menuntut Ilmu Bukan Sekadar Pilihan, Tapi Tanggung Jawab

Menuntut Ilmu Bukan Sekadar Pilihan, Tapi Tanggung Jawab

Pernah nggak sih, kita merasa malas buka kitab atau duduk di majelis ilmu? Udah capek seharian, rasanya penginnya rebahan aja sambil scroll media sosial. Saya sendiri pernah mengalaminya. Sampai suatu ketika, seorang teman bercerita tentang bagaimana dia hampir saja melakukan kesalahan dalam jual beli online karena tidak paham hukumnya. Dia baru tersadar, “Ah, ini kan cuma urusan receh,” pikirnya awalnya. Tapi ternyata, dalam Islam, tidak ada yang namanya “urusan receh” ketika itu menyangkut halal dan haram.

Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan kita dengan sangat jelas, “Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan.” Coba kita renungkan sejenak. Kata kuncinya ada di “wajib”. Ini bukan anjuran atau sekadar sunnah yang baik untuk dilakukan. Ini kewajiban, setara dengan kewajiban kita yang lain. Dan yang membuatnya semakin istimewa, kewajiban ini berlaku untuk kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

Lalu, ilmu apa saja yang wajib kita kejar?

Kita sering membayangkan menuntut ilmu itu duduk berjam-jam membahas kitab tebal yang rumit. Padahal, yang paling utama justru ilmu yang kita butuhkan untuk menjalani hari ini. Ilmu untuk shalat kita yang masih sering bolong-bolong, ilmu untuk puasa yang tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, atau ilmu untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa terjerumus dalam ghibli dan dusta. Ini adalah ilmu “on demand” yang langsung berkaitan dengan kewajiban kita. Sebagaimana kaidah fiqih yang sangat bijak, “Sesuatu yang menjadi perantara untuk menjalankan kewajiban, maka hukumnya menjadi wajib.” Logis, bukan? Kita tidak mungkin bisa shalat dengan benar jika tidak pernah belajar caranya.

Lebih Dari Sekadar Ritual

Ilmu agama bukan hanya soal bagaimana gerakan shalat atau bacaan doa. Ia juga tentang urusan dunia kita yang nyata. Cerita teman saya tadi mengingatkan saya pada satu kisah dari ulama besar, Muhammad bin Al-Hasan. Suatu ketika, beliau ditanya, “Mengapa Anda tidak menulis kitab tentang zuhud?” Beliau menjawab dengan sederhana namun penuh makna, “Aku telah menulis kitab tentang jual beli.”

Jawaban ini bagai tamparan lembut bagi kita. Zuhud bukan cuma soal memakai baju sederhana atau hidup bersahaja. Zuhud yang sejati adalah ketika kita menjaga diri dari memakan harta yang haram, dari transaksi yang syubhat. Itulah mengapa memahami hukum jual beli, hukum hutang-piutang, atau hukum bekerja yang halal adalah bagian dari ilmu yang sangat mulia. Ini adalah bentuk zuhud zaman now.

Dan jangan lupa, ada satu area lagi yang seringkali luput dari perhatian kita: ilmu tentang hati. Di era yang penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian ini, ilmu tentang bagaimana cara bertawakal dengan benar, bagaimana membangun rasa takut kepada Allah, dan bagaimana kita bisa ikhlas menerima takdir-Nya, adalah “survival kit” yang wajib kita miliki. Hati itu komandannya. Jika hatinya sakit, semuanya bisa ikut rusak. Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Ingatlah, di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.”

Mulai dari Mana?

Kadang, yang membuat kita berat adalah karena kita memandang ilmu sebagai gunung yang terlalu tinggi untuk didaki. Padahal, kita bisa memulainya dari yang paling kita butuhkan saat ini. Ada sebuah nasihat yang sangat dalam, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu hal, dan perbuatan paling mulia adalah menjaga perilaku.” Ilmu hal adalah ilmu tentang kondisi kita saat ini juga.

Jika kita sedang bersiap menjadi orang tua, maka ilmu mendidik anak adalah fokus kita. Jika kita baru mulai bekerja, maka ilmu adab dan hukum bekerja adalah kewajiban. Jika hati kita sedang gundah, maka ilmu tentang mengelola hati adalah prioritas. Dengan begini, menuntut ilmu menjadi sebuah perjalanan yang hidup, relevan, dan menyentuh langsung realitas kehidupan kita.

Allah memulai wahyu dengan perintah “Iqra!” – Bacalah! Ini adalah pengingat abadi bahwa Islam dibangun di atas fondasi ilmu. Tanpa ilmu, ibadah kita bisa jadi rutinitas tanpa ruh. Tanpa ilmu, muamalah kita bisa menjerumuskan kita pada yang haram tanpa kita sadari. Dan tanpa ilmu, hati kita akan mudah diombang-ambingkan oleh keraguan dan syubhat.

Mari kita niatkan kembali hari-hari kita untuk menjadi penuntut ilmu. Tidak perlu muluk-muluk, mulai dari yang paling kita butuhkan, hadiri majelis ilmu, dan bertanyalah kepada yang lebih tahu. Karena menuntut ilmu adalah jalan kita untuk mengenal Allah, mencintai Rasul-Nya, dan menjalani hidup dengan percaya diri di atas cahaya-Nya.

Semoga kita semua senantiasa diberi kemudahan dan keistiqamahan dalam menimba ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya dengan penuh keikhlasan.


Oleh: Ukhti Sakha Nisa Rafidah
(Alumni Pesantren Az-Zikra Depok)
Editor: Ustadzah Fatimah Az-Zahra
(Guru Halaqoh Qur’an Pesantren Az-Zikra)

Ukhti Sakha Nisa Rafidah
Ukhti Sakha Nisa Rafidah

Alumni Pesantren Azzikra Depok Tahun 2025 | Mengabdi di Pesantren Yatama & Dhuafa Azzikra Depok Tahun 2025-2026

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *