Tatacara dan Hukum Sholat Berjamaah

Tatacara dan Hukum Sholat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia bukan sekadar bentuk ibadah yang dilakukan bersama, melainkan simbol persatuan, kebersamaan, dan ketaatan kepada Allah SWT. Dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah ﷺ, shalat berjamaah disebutkan memiliki keutamaan yang begitu besar dibandingkan shalat sendirian.

Dalam pandangan para ulama, hukum shalat berjamaah bagi laki-laki dalam shalat-shalat fardhu selain shalat Jum’at memiliki beberapa penjelasan. Menurut mushannif dan Imam ar-Rafi’i, hukumnya adalah sunnah muakkad, yakni sangat dianjurkan dan hampir mendekati wajib. Namun, menurut pendapat yang paling sahih (al-ashah) sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi, shalat berjamaah hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan betapa besar ganjaran bagi mereka yang menjaga shalat berjamaah. Bahkan seorang makmum tetap mendapatkan pahala berjamaah selama ia masih sempat bergabung sebelum imam mengucapkan salam yang pertama, meskipun belum sempat duduk bersama imam.

Adapun khusus untuk shalat Jum’at, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap laki-laki muslim yang baligh dan berakal, serta tidak memiliki uzur syar’i. Shalat Jum’at tidak sah dilakukan sendirian dan tidak cukup hanya dengan satu rakaat.

Tatacara dan Syarat Sholat Berjamaah

Bagi makmum, terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan agar shalat berjamaahnya sah. Salah satunya adalah niat bermakmum atau mengikuti imam. Tidak wajib bagi makmum untuk mengetahui siapa imamnya secara spesifik, cukup dengan niat mengikuti imam yang sedang memimpin saat itu. Namun, jika makmum salah menentukan imam karena keliru orangnya, shalatnya tetap sah selama niatnya mengarah pada imam yang dimaksud dalam konteks itu.

Adapun bagi imam, niat menjadi imam hukumnya sunnah dan bukan kewajiban, kecuali pada shalat Jum’at. Jika seorang imam tidak meniatkan menjadi imam, maka shalatnya tetap sah, hanya saja ia dihitung shalat sendirian, dan makmumnya tidak mendapatkan pahala berjamaah dengannya.

Syarat dan Ketentuan Imam

Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, tidak semua orang dapat menjadi imam. Seorang laki-laki merdeka boleh bermakmum pada budak laki-laki, dan seorang baligh boleh bermakmum pada anak yang mendekati baligh (murahiq). Namun, tidak sah jika bermakmum kepada anak kecil yang belum tamyiz atau belum bisa membedakan baik dan buruk.

Selain itu, seorang lelaki tidak sah bermakmum kepada wanita atau khuntsa musykil (orang yang memiliki keraguan jenis kelamin). Begitu pula sebaliknya, seorang khuntsa musykil tidak boleh bermakmum pada wanita atau sesamanya.

Dalam hal bacaan, seorang qari’ (orang yang baik dan benar bacaannya dalam surat Al-Fatihah) tidak sah bermakmum kepada ummi, yaitu orang yang cacat bacaannya, misalnya salah huruf atau tidak membaca tasydid dengan benar. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan kualitas bacaan imam, karena imam adalah pemimpin dalam shalat.

Syarat-Syarat Sah Berjamaah

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah posisi makmum terhadap imam. Shalat berjamaah akan sah apabila makmum berada di belakang atau sejajar dengan imam, bukan di depan. Jika tumit makmum lebih maju dari tumit imam dalam satu arah, maka shalatnya tidak sah.

Dianjurkan agar makmum berdiri sedikit di belakang imam, karena hal itu menunjukkan adab dan ketertiban dalam shalat berjamaah. Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila ia rukuk, rukuklah kalian.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Selain posisi, jarak antara imam dan makmum juga menjadi syarat penting. Apabila imam berada di dalam masjid dan makmum di luar masjid, maka shalat berjamaah tetap sah selama jaraknya tidak lebih dari tiga ratus dzira’ (sekitar 150 meter) dan tidak ada penghalang di antara keduanya, serta makmum dapat mengetahui gerakan imam secara langsung.

Begitu juga ketika shalat dilakukan di tanah lapang atau bangunan, selama jaraknya tidak melebihi batas tersebut dan tidak ada penghalang antara keduanya, maka shalat berjamaah tetap sah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Shalat berjamaah adalah salah satu syiar terbesar Islam, dan meninggalkannya termasuk tanda kemunafikan.”
(Uddatush Shabirin, hal. 97)

Dengan demikian, shalat berjamaah bukan hanya sekadar kebersamaan dalam ibadah, melainkan bentuk nyata dari kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia mengajarkan kedisiplinan, ketertiban, dan rasa persaudaraan di antara kaum muslimin. Sebuah ibadah yang sederhana, namun sarat makna dan keberkahan.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Ayat ini menjadi seruan lembut bagi setiap muslim agar senantiasa menegakkan shalat berjamaah, karena di dalamnya terdapat rahmat, persatuan, dan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Oleh: Ukhti Nadira Alkhafia
(Alumni Pesantren Az-zikra)
Editor: Ustadzah Thohiroh Mahmudah
(Guru Halaqoh Qur’an Pesatren Az-zikra)

Ukhti Nadira Alkhalifia
Ukhti Nadira Alkhalifia

Alumni Pesantren Azzikra Depok Tahun 2025 | Mengabdi di Pesantren Yatama & Dhuafa Azzikra Depok Tahun 2025-2026

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *