Dalam perjalanan menuntut ilmu, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan dan ketekunan, tetapi juga oleh bagaimana seseorang menghargai dan mengagungkan ilmu itu sendiri. Tanpa rasa hormat terhadap ilmu dan para ahli ilmu, pengetahuan sering kali kehilangan keberkahannya, bahkan bisa menjadi sebab tertutupnya manfaat.
Ada ungkapan bijak yang mengatakan: “Seseorang akan mencapai sesuatu karena ia mengagungkannya, dan gagal karena ia meremehkannya.” Begitu pula dengan ilmu. Betapa banyak orang tidak menjadi kafir karena maksiatnya, tetapi karena kehilangan rasa pengagungan kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang terletak pada ilmunya. Namun ilmu hanya akan menjadi cahaya jika disertai dengan adab dan rasa hormat kepada guru serta sumber ilmu itu sendiri.
Mengagungkan Guru
Salah satu bentuk mengagungkan ilmu adalah dengan menghormati guru. Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“Aku adalah hamba bagi orang yang mengajarkan satu huruf kepadaku. Terserah padanya apakah ia mau menjualku, memerdekakanku, atau tetap menjadikanku hambanya.”
Ungkapan ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan guru dalam pandangan Islam. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing ruhani, bapak dalam kehidupan keilmuan, dan penjaga keberkahan ilmu.
Seorang ulama berkata:
“Barang siapa ingin anaknya menjadi alim, hendaklah ia memuliakan ahli ilmu, memberikan hadiah kepada mereka, dan menjaga kehormatan mereka. Jika bukan anaknya yang menjadi alim, maka cucunya kelak akan mendapatkan anugerah itu.”
Adab terhadap guru adalah bagian penting dari pengagungan ilmu. Seorang murid tidak sepatutnya berjalan di depan gurunya, duduk di tempatnya, berbicara tanpa izin, atau bertanya dengan nada yang membosankan. Hendaklah ia sabar menunggu, menuruti perintah selama tidak bertentangan dengan syariat, serta menjaga hati gurunya agar tidak tersakiti.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami.”
(HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Para ulama terdahulu memberi teladan dalam adab terhadap guru. Diceritakan bahwa seorang imam besar di Bukhara setiap kali melihat anak gurunya bermain di halaman, ia berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya.
Imam Fakhruddin Al-Arsyabandiy juga berkata:
“Saya bisa mencapai derajat ini hanya karena berkah menghormati guru saya. Saya memasakkan makanan untuk beliau tanpa ikut memakannya.”
Ada pula pepatah Arab yang indah:
“Dokter dan guru tidak akan memberi nasihat bila tidak dihormati.
Terimalah sakitmu bila engkau acuh pada doktermu,
dan terimalah kebodohanmu bila engkau durhaka pada gurumu.”
Selain guru, kitab juga wajib dimuliakan. Di dalamnya tersimpan ilmu dan petunjuk menuju kebenaran. Para ulama terdahulu menjaga adab terhadap kitab: mereka mengambilnya dalam keadaan suci, tidak membentangkan kaki ke arahnya, tidak menaruh benda di atasnya, dan menempatkan kitab tafsir di posisi paling atas.
Syaikhul Islam Asy-Sarkhasiy bahkan berwudhu sebanyak tujuh belas kali dalam satu malam karena setiap kali batal, ia ingin tetap belajar dalam keadaan suci. Ia berkata:
“Ilmu itu cahaya, dan wudhu juga cahaya. Cahaya ilmu akan semakin terang bila disertai cahaya wudhu.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang ia kerjakan.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Bahkan Imam Abu Hanifah pernah menegur seorang murid yang tulisannya berantakan, seraya berkata:
“Jangan buat tulisanmu kabur. Jika engkau panjang umur, engkau akan menyesal; jika engkau mati, engkau akan dimaki.”
Para ulama juga mengajarkan agar menulis kitab dengan rapi, memilih bentuk persegi empat agar mudah dibawa dan dipelajari, serta menghindari penggunaan warna merah yang dahulu dianggap kebiasaan kaum filsafat, bukan kebiasaan ulama salaf.
Ilmu dan Adab
Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa cahaya — ia membakar tanpa menerangi. Adab tanpa ilmu bagaikan cahaya tanpa arah — ia indah tapi tak memberi petunjuk.
Keduanya harus berjalan beriringan. Menuntut ilmu bukan sekadar mengisi pikiran, tetapi juga menundukkan hati. Karena hanya hati yang tunduk dan penuh penghormatanlah yang akan menerima cahaya ilmu dengan sempurna.
Oleh: Ukhti Azizah Azzahro
(Alumni Pesantren Az-Zikra Depok)
Editor: Ustadzah Rosyidatul Mukarromah
(Guru Halaqoh Qur’an Pesantren Az Zikra)




