Ada satu nasihat dari Malaikat Jibril ‘alaihissalam yang diriwayatkan dalam kitab Nashoihul ‘Ibad. Nasihat ini sangat singkat, tetapi maknanya begitu dalam.
Jibril berkata kepada Rasulullah ﷺ:
وَقَالَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا مُحَمَّدُ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ
“Wahai Muhammad, hiduplah semaumu, karena sesungguhnya engkau akan mati. Cintailah siapa pun yang engkau kehendaki, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Dan kerjakanlah apa saja yang engkau inginkan, karena sesungguhnya engkau akan mendapatkan balasannya.”
Kalimat ini adalah pengingat agar manusia sadar akan keterbatasannya. Hidup, cinta, dan amal — semuanya memiliki ujung. Tidak ada yang abadi, bahkan orang-orang yang paling kita cintai sekalipun. Kita akan meninggalkan, atau ditinggalkan. Maka yang tersisa hanyalah amal yang kita bawa menghadap Allah ﷻ.
Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.”
(QS. Ali ‘Imran: 185)
Ayat ini menyadarkan bahwa dunia bukan tujuan akhir, melainkan tempat untuk beramal. Tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari perhitungan, sebagaimana firman-Nya lagi:
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
(QS. Az-Zalzalah: 7–8)
Dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia bukan untuk dinikmati secara mutlak. Dunia hanyalah persinggahan singkat bagi orang beriman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.”
(HR. Bukhari)
Seorang pengembara tidak akan menganggap tempat singgahnya sebagai rumah. Ia akan beristirahat secukupnya, lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama. Begitulah manusia di dunia: hanya sementara. Maka yang paling bijak adalah mengisi waktu dengan amal yang bernilai di sisi Allah.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa dunia adalah ladang untuk akhirat. Barang siapa menanam kebaikan di dunia, ia akan memetik buahnya di akhirat. Setiap amal, sekecil apa pun, tidak akan sia-sia selama diniatkan karena Allah.
Kita tidak perlu takut kehilangan, karena setiap perpisahan di dunia hanyalah bagian dari ketetapan Allah. Yang seharusnya lebih kita khawatirkan adalah jika hidup berlalu tanpa makna, tanpa amal yang bisa kita bawa. Hidup tidak menunggu kesiapan siapa pun; ia berjalan pasti menuju akhir.
Nasihat Jibril itu seharusnya membuat setiap hati bergetar: “Hiduplah semaumu, karena engkau akan mati. Cintailah siapa pun yang engkau kehendaki, karena engkau akan berpisah dengannya. Dan beramallah, karena engkau akan dibalas.” Semua kalimat itu bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran — bahwa waktu yang kita miliki sekarang adalah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Hidup hanyalah perjalanan singkat. Segala yang kita lakukan, yang kita cintai, dan yang kita perjuangkan akan kembali kepada Allah. Maka biarlah hidup ini menjadi ladang kebaikan, cinta menjadi jalan menuju ridha-Nya, dan setiap perbuatan menjadi sebab datangnya rahmat di hari pembalasan.
Oleh: Ukhti Diva Alifia Nabila Bhayangkara
(Alumni Pesantren Az-Zikra Depok)
Editor: Ustadzah Siti Fatimatuzzahro
(Guru Halaqoh Qur’an Pesantren Az-Zikra)



